Rabu, 16 Januari 2013

AHIIIIM....!!


“Eh, mau ke mane lu?” pertanyaan itu selalu kudengar dari orang yang mengaku temanku itu tiap aku melangkahkan kaki keluar dari tempat bernaung ini. Suaranya terdengar seperti nada perhatian. Yeah, seperti itu. Aku diam. Seperti biasanya, tak pernah menjawab ke mana aku akan pergi karena aku pun tak tahu ke mana aku akan membawa kaki ini melangkah.
Namaku Ahim. Ya, panggil saja begitu. Aku benci hidupku. Aku benci semua hal yang pernah terjadi di hidupku. Aku benci semua orang yang pernah kukenal, bahkan aku membenci diriku sendiri. Rasanya ingin sekali kuakhiri hidupku ini. Berkali-kali sudah kucoba tuk mati, tetapi tetap saja aku selalu tertolong dan kembali ke dunia yang menyebalkan ini lagi. Seakan-akan aku ini memiliki sembilan nyawa. Hah, konyol memang. Tapi begitulah adanya. Aku tak pernah berhasil membunuh diriku sendiri.
“Tuhan tidak menghendakimu mati..” begitu kata ayahku, sang tuan bijak saat aku berkali-kali mencoba bunuh diri.
…………………………………
“Bu, menthol satu, besok pasti bayar.” Kataku kepada penjaga warung dekat kos. Kulihat wajahnya tak senang, aku tahu wajah itu adalah wajah kekesalan.
“Hiim, him, saya ini kasihan sama kamu, tapi saya juga kesel kalo kamu ngutang terus kaya begini. Kalo nggak punya uang, mbok ya jangan ngerokok tho..” begitu katanya. Aku hanya diam, menunjukkan muka datar. Kemudian Ibu Jawa itu pun memberikan sebungkus rokok menthol yang selalu kuminta setiap aku ke warung itu. Sudah dua minggu aku terus berhutang. Tapi aku tak peduli, toh nanti aku juga pasti akan mati. Pikiran itu selalu ada di benakku “Besok aku akan mati”. Sebenarnya jika aku punya uang, aku akan membeli rokok itu. Dan sekarang keadaannya aku tak punya uang. Aku tak tahu dimana mendapatkan benda semacam itu. Ini semua karena ayahku, dia tak pernah mempedulikanku. Dia membuangku dan menikmati hidupnya sendiri. Andai aku bisa ikut Ibuku mati, pasti aku tak akan merasakan penderitaan seperti ini. Aaarrgh…. AKU INGIN MATI..!!
Malam ini terasa seperti malam-malam sebelumnya. Dua tahun sudah aku merasakan hidup tak teratur seperti ini.
Tiit.. tiit..
Ponselku berbunyi. Ada pesan singkat dari “Ibnu”
Him, besok ada ulangan. Kamu tolong turun ya, kalau tidak nilai kamu akan kurang nanti. Kata Pak Situmorang nilai ulangan ini sangat mempengaruhi rapot…
Bla bla bla, aku tak peduli. Tapi… aku ingin ke sekolah besok. Yaah, turuti saja lah apa kata Pak tua itu. Malam ini aku tidur di kos saja. Besok aku akan kembali ke jalanan.
…………………………………………………….
Dua tahun bersekolah di sini, aku bisa menghitung daftar hadirku. Hanya beberapa kali dalam setahun. Mungkin, hari ini adalah hari ke 20 aku ke sekolah setelah tiga bulan menjadi siswa kelas 3 sma. Aku melangkahkan kakiku dengan malas menuju kelas yang kubenci itu. Di mana aku selalu bertemu orang-orang yang sok memperhatikanku. Aku masuk kelas. Suasana yang tadi gaduh seperti di pasar tiba-tiba hening seperti di kuburan. Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi menunduk. Mereka tercengang.
“Hoii..! Ahim is back!! Ahim dataang…” seru seorang lelaki sambil menunjukku.
“Ahiiiim..!!” yang lain bersorak sambil bertepuk tangan melihat kedatanganku.
Bodoh, kenaapa mereka seperti ini? Apa ini hinaan?
“Dapat angin apa him jadi masuk kelas? Hahahaa” Tanya seorang perempuan dengan tawanya yang kubenci. Aku hanya diam. Terserah lah mereka mau berkata apa.
“Kamu sudah belajar? Hari ini ulangan, kamu tahu kan?” Tanya seorang perempuan yang aku tahu namanya Nita saat aku duduk di bangku sebelahnya. Aku diam, tak menjawab. Dia hanya tersenyum. Dia memang selalu tersenyum. Pasti hidupnya bahagia, tidak sepertiku. Dia anak yang pintar, menurutku.
………………………………………………………………
“Kalian sudah siap ulangan??”  tiba-tiba suara itu datang setelah beberapa detik bel masuk dibunyikan. Dasar Yahudi, tidak tahu malu. Begini kah sikap seorang guru? Tidak ada sopan santunnya. Paling tidak dia harus mengucapkan selamat pagi dulu lah sebelum memulai belajar.
“Ahiim?? Kamu sudah siap?” pertanyaan itu ditujukan khusus untukku, si bodoh.
“Kalau saya tidak siap, saya tidak akan datang ke penjara ini.” Jawabku datar. Yang lain terdiam, suasana menjadi sangat hening. Pak tua itu memelototiku.
“Kenapa Pak? Cepat lah bagikan soal-soalnya, saya ingin ke luar dari tempat ini segera.” Lanjutku memecah keheningan.
“Tidak bisa, hari ini kamu tidak boleh ke mana-mana, setelah ulangan ini, kamu harus ikut ke ruangan saya. Saya akan menghukummu!” katanya sewot.
“Huh…” aku menghela nafas sambil menyandarkan punggungku ke kursi dan melipat tangan di depan dada.
Pak Tua itu membagikan soal ulangan dengan muka yang kesal. Haha, rasanya aku bangga pagi-pagi sudah bisa menciptakan suasana seperti ini. Hmmmm, aromanya nikmaat.
“oke, waktu kalian hanya 60 menit dari sekarang, jangan sia-siakan waktu. Jangan ada yang menyontek!”
Aku membaca lembar soal yang padat oleh angka-angka itu. Melihatnya saja aku malas.
“Soal macam apa ini? Gila!” kataku sambil mengangkat dan membolak-balikkan kertas soal. Nita tersenyum geli. Aku melotot.
“Entar aku kasih,” bisiknya sambil tersenyum seperti biasa. Hanya dia orang yang benar-benar baik selain Ibuku. Aku terkesan. Yeah, terkesan. Masih ada orang yang baik denganku setelah semua kelakuanku yang menjengkelkan ini.
“Terserah…” kataku pasrah. Nita kembali fokus ke soal.
“Ahiim!” teriak Pak tua itu padaku yang sedari tadi hanya mencoret-coret kertas untuk menghitung.
“Ya, Pak tua?” kataku santai. Yang lain tertawa.
“Diam kalian! Mau saya beri nilai nol semuanya?” dia makin geram. Yang lain kembali fokus tak berani melawan. Pak tua itu menarik lembar jawabanku. Kosong. Dia melihatku dengan wajah pembunuhnya.
“Saya belum dapat ilham, Pak.” Kataku.
“Cepat sana ke luar!”
Aku tidak ingin ke luar. Bersikeras tetap duduk. Aku ambil lembar jawabanku darinya. Ia memegangi dadanya sambil menarik nafas dan kembali duduk di depan. Lalu meletakkan kepalanya ke atas meja. Nafasnya tak beraturan.
“Pak, jangan mati, Pak!” seruku tanpa nada canda.
“Ahiim…” Nita memperlihatkan ekspresi kesal. Apa dia marah? Kenapa? Ada yang salah?
“jangan bicara begitu…” lanjutnya.
Sesaat Pak tua itu terhenti dengan tenang. Apa dia sudah mati? Pikirku. Bagaimana caranya untuk mati  semudah itu? Aku penasaran. Tapi aku tak ingin berbuat atau mengatakan apa-apa lagi. Yang lainnya juga ikut diam.
“Nih…” kata Nita sambil menyerahkan lembar jawabannya. Perempuan ini memang jenius. Baru 30 menit berlalu, semua soal berhasil dijawabnya dengan tulisan yang sangat rapi. Apa memang soalnya yang mudah?
“Terimakasih…” untuk pertama kalinya aku mengucapkan kata itu seumur hidupku. Dia hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Hebat!
………………………………………………………………………………………
Aku langsung lari sekencang-kencangnya begitu ulangan selesai. Aku tak ingin menghadap Pak tua itu. Aku ingin pulang ke kos kemudian tidur.
“Ahiim! Jangan lari kamu!” teriak Pak tua itu sambil menunjukku. Dia kembali memegang dadanya. Aku menambah akselerasiku.
“Ahiim..! tunggu..” sekarang Nita yang mengejarku.
“Kenapa?” aku berhenti.
“Tolong lah, kasihan Pak Situ, beliau sudah tua. Untuk kali ini saja, turuti kehendak beliau.” Pinta Nita dengan wajah memelasnya.
“Aku tidak mau!” kataku ketus.
“Oke, sekarang kamu mau ke mana?” tanyanya.
“Uruslah urusanmu sendiri!” jawabku sambil kembali berjalan.
“Baik…” katanya sambil berbalik arah dan berjalan menuju kelas. Huh, akhirnya.
Aku berjalan melewati gerbang sekolah dengan santai. Satpam tidak ada. Aku tak perlu memanjat pagar samping seperti yang sering kulakukan.
“Hah? Kamu mengikutiku?” tanyaku kepada seseorang yang baru kusadari telah berjalan di sampingku. Nita. Untuk apa dia mengikutiku?
“Tidak…” jawabnya santai.
Aku tidak ingin menyanggah. Biarlah dia berbuat sesuka hatinya.
Aku memutuskan untuk duduk bersantai di bangku taman kota. Di bawah pohon yang rindang, aku dan Nita duduk berbalikan arah.
“Sebenarnya kamu itu mau apa mengikutiku?” tanyaku padanya setelah lama terdiam.
“Sudah kubilang, aku tidak mengikutimu…” jawabnya lembut dan santai.
“Lantas? Kenapa kau keluar dari sekolah dan tidak mengikuti pelajaran? Malah mengikutiku membolos?”
“Aku jenuh…” jawabnya singkat. Aku terkejut. Mataku sedikit terbelalak mendengar pernyataannya. Orang pintar dan kelihatannya selalu tenang di kelas ternyata juga bisa jenuh. Mengapa?
“Bisa juga kamu jenuh ya? Kupikir kehidupanmu memang kamu abdikan untuk sekolah, haha”
“Tentu saja bisa, sebenarnya kalau tidak memikirkan ibuku, aku tidak akan belajar seserius ini…” jawabnya sedikit mencurahkan hati. Hatiku mulai bertanya. Apa dia punya masalah dengan keluarganya sehingga harus rela mngorbankan seluruh jiwa raganya untuk hal itu. Aku menengok ke belakang tempat Nita duduk, kemudian berpindah duduk ke sampingnya.
“Memangnya ibumu kenapa?” tanyaku sambil memerhatikan wajah Nita yang kelihatan menegarkan diri.
“Ibuku sakit keras. Tak ada yang bisa membantu kami menyembuhkan sakitnya. Biaya ke dokter mahal. Tak ada seorang pun yang dengan suka rela membantu kami karena biaya rumah sakit melebihi pendapatan mereka...”
“Ayahmu?” tanyaku di sela-sela pembicaraannya.
“Aku tidak tahu di mana beliau sekarang. Beliau pergi meninggalkan kami sejak tiga tahun yang lalu. Aku hanya hidup berdua dengan ibuku. Terakhir kali aku mendengar kabar tentang beliau dari bibku, katanya dia menikah lagi dengan wanita lain yang sangat kaya. Dia tidak ingin pulang dan kembali bersama kami lagi. Sebenarnya aku tidak percaya dengan perkataan bibiku. Tapi, dengan bukti foto-foto ayahku yang bahagia bersama keluarga barunya dan tiada kabar apapun dari beliau, aku sekarang percaya dan sakit hati. Aku marah dengan ayahku, aku kesal. Tapi ibuku bilang, yang berlalu biarlah berlalu. Jangan pernah menyimpan rasa dendam dan benci apalagi kepada orang tua sendiri. Kata ibuku, ayahku adalah orang yang sangat baik dan bertanggung jawab. Mungkin ada alasan yang sangat mendesak, yang membuat ayah harus melakukan ini semua. Ibuku hanya mengharapkanku menjadi anak yang baik dan selalu menolong orang lain tanpa pamrih. Dan pesannya, sebelum pergi meninggalkan dunia ini untuk selamanya, Ibuku ingin aku bahagia dan menjadi orang yang hebat. Beliau ingin aku menjadi seorang zubir presiden.” Ceritanya panjang lebar sambil tersenyum dan sesekali menghela nafas panjang menahan titik air matanya. Aku tersentuh. Dia perempuan yang sangat tegar. Dia masih bertahan untuk hidup demi menghidupi orang yang dicintainya. Dan yang paling berkesan adalah ia masih memanggil ayahnya yang bajingan itu dengan sebutan ‘beliau’. Dia masih sangat menghormati dan menghargai ayahnya. Aku tahu kekecewaan yang ia rasakan saat itu, tapi dia masih tetap ingin bertahan. Sudah tiga tahun lamanya ia menahan ini. Hebat.
“Kalau boleh tahu, kamu kenapa jarang sekali masuk sekolah? Apa kamu tidak punya cita-cita?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Ah… ehm, aku punya cita-cita. Aku ingin jadi orang kaya…” jawabku spontan dan agak bingung.
“Hahahaha, ternyata kamu ini orangnya tidak sedingin yang kupikirkan ya. Lantas kenapa kamu tidak sekolah sungguh-sungguh?” katanya sambil tertawa geli.
“Aku banyak urusan…” jawabku berbohong.
“Urusan apa? Memang orang tuamu tidak pernah tahu kamu sering membolos? Memang kamu tidak dimarahi?” tanyanya beruntut dengan wajah yang sangat ingin tahu.
“Mau tau saja urusan orang…” jawabku singkat lalu beranjak pergi dan mengambil langkah seribu agar tidak diikuti lagi olehnya.
“Hei! Kamu curang! Aku sudah cerita padamu…” teriaknya sambil sedikit berlari mengejarku, tapi aku tak terkejar. Maafkan aku, aku tidak ingin ada orang yang tahu dengan kehidupanku.
……………………………………………………………..
Cerita Nita tadi seakan memberiku pencerahan. Kehidupanku yang kupikir adalah yang paling buruk ternyata tidak seburuk Nita. Nita adalah seorang perempuan yang mudah menangis, tapi dia tetap tegar menghadapi semuanya. Aku jadi malu dengan diriku sendiri yang ingin mengakhiri semuanya dengan sia-sia.
“Ahim, ada kiriman buat elu nih!” kata seseorang dari luar kamar. Ya, itu Bang Jaka. Orang yang paling memerhatikanku di kos ini.
“Dari siapa Bang?” kataku saat membuka pintu dan mendapati Bang Jaka membawa amplop sedang berwarna coklat.
“Nih, liat aja ndiri…” katanya sambil menyerahkan amplop itu padaku kemudian pergi.
“Dari… Ayah!” aku terkejut. Dia mengirimiku uang untuk sekolah dan belanja di sini. Ada sepucuk surat di dalamnya.
…………………………..
Ahim, maafkan ayah ya, Nak. Sudah tiga bulan ayah tidak mengirimimu uang. Ayah bangkrut. Usaha ibumu juga digusur karena ada pembangunan. Jadi sekarang ayah kerja serabutan dan hanya mengandalkan gaji pegawai negeri yang terbatas ini. Tapi kamu tenang saja, ayah pasti akan selalu ingat kamu, nak. Ayah janji bulan depan akan ke sana menengokmu. Belajar yang rajin ya, jangan malas dan bikin onar di sana. Ingat pesan ibumu, dia ingin kamu menjadi pemimpin Negara yang adil dan bijaksana.
………………………………………
Astaghfirullahal’azhiim…
Aku bahkan tidak ingat pesan ibuku sebelum ia meninggal. Ia ingin aku menjadi seorang presiden. Aku telah memupuskan harapan ibuku. Aku tidak memperdulikan apa-apa lagi setelah ia pergi meninggalkanku untuk selamanya. Aku bodoh! Mengapa aku terus ingin mati dan menyia-nyiakan hidupku?. Masih banyak orang yang peduli denganku. Ayah masih menyayangi dan mempedulikanku, Bang Jaka yang selalu bertanya ke mana aku akan pergi, Nita yang selalu baik padaku, Ibnu yang selalu memberitahukanku kabar sekolah, Pak Situmorang yang selalu memprihatinkan nilaiku di sekolah, Ibu Jawa yang selalu terpaksa ikhlas menghutangiku rorok, dan yang lainnya. Aku tidak sadar mereka hadir untuk diriku. Mereka adalah kiriman Tuhan yang diciptakan untuk menemaniku dan membantuku bertahan hidup. Dan aku tidak mempedulikan mereka?
Aku termenung setelah membaca surat dari Ayah. Ayah masih peduli denganku. Tak seharusnya aku mati dengan sia-sia. Nita yang ditinggalkan Ayahnya dan sebentar lagi akan ditinggalkan ibunya saja terus ingin hidup dan berusaha semangat menghadapi semuanya. Aku? Pantaskah aku mati sekarang? Tidak! Aku akan mengejar impianku untuk semua orang yang telah membantuku bertahan hidup. Kalau aku mati sekarang, apa yang akan terjadi dengan ayahku? Dan ibuku, juga pasti akan kecewa denganku. Aku tidak mau itu. Aku putuskan untuk merubah hidupku.
……………………………………………………………….
“Assalamu’alaikum…” kataku mengucap salam saat menyinggahi warung dekat kos ku yang biasa menghutangiku rokok.
“Menthol him?” kata Ibu jawa itu sambil menghela nafas pasrah dan memberikan sekotak rokok rasa menthol alam.
“Tidak, Bu. Ini, saya cuma ingin bayar hutang yang kemarin saja. Sisanya, permen mint saja ya.” Kataku sedikit tersenyum dan menyerahkan selembar uang 50ribuan. Hutangku sudah terlalu banyak.
Ibu itu terheran. Dia agak ragu untuk mengambil uang dari tanganku. “Berhenti ngerokok kamu him?” tanyanya kemudian.
“Insyaallah, Bu.” Jawabku singkat seraya mengambil beberapa bungkus permen mint. “Assalamu’alaikum…” pamitku sambil berlalu.
“Wa’alaikumsalaam…” jawab Ibu jawa itu sambil menuntunku dengan pandangan matanya yang terheran-heran.
………………………………………………..
“Ahiiim…!!” sorak teman-temanku di kelas seperti biasanya saat aku mmemasuki kelasku. Aku tersenyum dan sedikit tertawa kepada teman-teman dan kemudian duduk di bangkuku, sebelah Nita. Hari ini aku sangat bergairah ke sekolah. Aku niatkan kakiku melangkah untuk menjadi seorang presiden seperti harapan Ibuku.
“Kamu mandi, him?” Tanya Nita sedikit bercanda. Aku melototinya dan kemudian tertawa. Nita pun juga tertawa.
“Hari ini tidak ada Pak Situmorang?” tanyaku mengejutkan Nita. Dia tercengang kemudian hanya menggeleng. Rasanya aku seperti baru lahir ke dunia ini.
“Oy! Ulangannya dibagi…” teriak Ibnu di depan kelas. “Maju satu per satu ya yang dipanggil namanya... Aulia Rahman…” panggilnya.
“Aku pasti dapat 100! Hehe…” kataku bercanda kepada Nita.
“Kenapa kamu yakin sekali?” tanyanya.
“Itu kan jawaban darimu…” kataku sambil tertawa kecil.
“Masjid Noor Rahim…” Panggil Bayu. Itu aku? Ya. Aku baru sadar, namaku adalah Masjid Noor Rahim. Ayahku yang memberikan nama itu. Nama yang bagus, mungkin agar aku selalu mengingat Allah dengan kata Masjid di depan, dan rahim yang artinya penyayang. Ayahku mungkin ingin aku menjadi hamba Allah yang penyayang. Aku maju dan mengambil kertas hasil ulanganku kemarin. Aku dapat…
“NOL!! Wahhahahaha” aku tertawa. Aku juga bingung kenapa aku tertawa. Nilainya benar-benar nol! Padahal itu jawaban Nita. Kenapa?
“Yang benar?” Tanya Nita dengan wajah khawatir.
“Nih…” aku menunjukkan kertas ulanganku. Wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan.
“Kenapa bisa? Beliau cuma memberi lingkaran besar tanpa mencoret mana yang salah seperti biasanya. Pasti ada catatan tersendiri…” selidiknya.
“Mungkin, akan kutanyakan nanti.”
………………………………………………….
“Ahim, sudah melihat nilaimu?” Tanya Pak Situmorang saat berpapasan denganku di depan ruang guru.
“Ya, Pak. Kenapa?” tanyaku.
“Kamu mau memperbaikinya tidak?” tanyanya lagi.
“Bagaimana? Remedial?”
“Ya.”
“Baiklah, Pak. Saya akan ikuti kemauan Bapak.” Kataku singkat. Pak Tua itu terkejut dengan pernyataanku. Mungkin dia merasa aku bukanlah aku. “Permisi, Pak…” pamitku sambil meninggalkan Pak tua itu terbengong-bengong.
“Huh, beginilah kehidupan yang sesungguhnya. Aku sudah bisa merasakan itu.” Kataku sambil menyusuri jalan ingin pulang dan bergegas untuk belajar.
TROOOOTTT TROOOTT….!!
“Aaaaaaaaaaa!!”
………………………………………………………………..
Air mata mengalir dari puluhan mata yang melawat ke pemakamanku, termasuk Ayah dan Ibu tiriku. Aku tak percaya hal ini akan terjadi. Sewaktu aku menyeberang jalan, truk yang melaju dengan kencang tak mampu dikendalikan lagi sehingga menabrakku dan aku tak mampu bertahan dan menghembuskan nafas lagi. Itu adalah perjuangan terakhirku dalam hidup. Dan akhirnya, sekarang aku menemui ajalku. Ibu, aku tak berhasil. Aku tak bisa menjadi presiden seperti yang kau inginkan. Aku tak bisa apa-apa lagi sekarang. Aku menyesal. Lama aku menginginkan kematian, tapi Tuhan tak berikan. Sekarang aku ingin hidup lebih panjang, Tuhan berikan aku kematian. Memang, takdir tak dapat ditebak. Hidupku memang hanya sampai di sini.
END