Hari ini aku dapat undangan ulang tahun teman sekelasku, Anis. Walaupun aku
baru kenal karena dia murid baru, tapi aku senang sekali. Aku senang pesta
ulang tahun. Yang membuat aku menyukai pesta ulang tahun adalah kue ulang tahun
yang lezat. Jadi, kalau ada undangan ulang tahun, aku pasti datang untuk
menikmati kue yang lezat itu. Aku sendiri jarang merayakan ulang tahun karena
keterbatasan ekonomi keluargaku. Begitulah, kenapa aku suka sekali datang ke
pesta ulang tahun. Acaranya hari ini jam
4 sore. Wah, aku langsung memikirkan kado apa yang harus kubelikan. Yang murah,
tapi berkesan. Apa ya?.
Pulang sekolah, aku langsung mampir ke warung Ibuku untuk mengabarkan undangan
ulang tahun itu. Ibuku seorang pedagang dengan warung kecil untuk menjajakan
kue-kue sederhana. Dari situlah sumber penghidupan keluarga kami. Waktu itu
warung sedang sepi. Kugunakan waktu untuk berbincang pada Ibuku di sana.
“Bu,hari ini ada undangan ulang tahun di rumah teman Lia. Lia ke sana ya?”
“Rumahnya di mana?”
“Katanya di Komplek Balitan empat. Tapi nggak tau juga di mana.”
“Loh kok nggak tau?”
“Nanti ada aja pasti tulisannya. Kalo ada rumah yang rame, pasti di situ
deh.”
“Balitan empat tau nggak?”
“Hehe, nggak tau, Bu.”
“Terus aja nih ke sana, nanti ada tulisannya.”
“Oh, oke. Pasti ketemu.”
“Kalo nggak tau jalan entar nanya aja.”
“Nggak usah nanya nanti pasti dapet aja kok Bu.”
“Hmmm, yakin banget kamu. Mau ngado apa?”
“Terserah Ibu aja. Kan Ibu yang ngasih uangnya.”
“Yaudah beliin wafer tango aja yang agak besar.”
“Iya deh, Bu.”
“Nih, uangnya. Hati-hati Ya. Naik apa berangkatnya? Balitan empat jauh lo
kalau jalan kaki.”
“Iya ya Bu? Yaudah nanti pinjam sepeda Mas Bambang aja.”
“Yaudah kalo gitu.”
“Aku pulang ya, Asslamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam”
Dari warung Ibu, aku langsung berjalan ke toko sebelah warung untuk
membelikan kado seperti yang dibilang Ibu tadi. Setelah itu aku berjalan pulang
dan meminjam sepeda kepada sepupuku, mas Bambang yang rumahnya berjarak dua
rumah saja dari rumahku. Setelah meminjam sepeda, aku membungkus kado. Tak
terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.30.
“Hah? Udah setengah empat?”. Kataku terkejut melihat jam. Aku langsung
bergegas mandi dan bersiap ke pesta ulang tahun Anis.
Aku mengayuh sepeda menyusuri jalan seperti yang dikatakan Ibuku tadi. Aku
terus mengayuh. “Jauh ya ternyata rumah Anis” kataku sambil melihat kanan kiri
untuk menemukan tulisan “BALITAN EMPAT”. Namun sudah jauh menurutku aku mengayuh
sepeda, aku tidak menemukan tulisan itu. Akupun memutuskan untuk kembali ke
jalan awal sambil melihat-lihat lagi ke kanan dan ke kiri. Mungkin saja saat
aku melihat ke kiri ternyata tulisannya ada di kanan. Sudah sampai ke jalan
awal, aku tetap tak melihat tulisan komplek BALITAN EMPAT. Aku putuskan untuk
kembali mencari lagi. Tapi kali ini aku hanya melihat ke arah kiri. Sampai
tempat terakhir aku berhenti tadi, aku kembali tak mendapatkan balitan empat.
Lalu aku kembali ke jalan awal dengan sambil melihat ke arah kiri. Tapi
benar-benar tidak ada.
“Aduuh, kok tidak ada sih?”. Aku hampir putus asa. Aku teringat pesan Ibu
tadi. “Kalo nggak tau jalan, entar nanya aja.”. Aku tepis pikiran itu. Aku
tidak ingin bertanya. Kuputuskan lagi untuk kembali menyusuri jalan. Kali ini
aku memasuki semua belokan-belokan yang aku temui. Dan hasilnya, NOL. Aku
kembali lagi dengan putus asa. Aku ingin ke warung Ibu saja. Di perjalanan
pulang, aku bertemu dengan Mbah Wir, kakek-kakek yang sering ngopi di warung
Ibuku, sedang menyapu di halaman depan rumahnya. Aku sapa beliau.
“Mbah..”.
“Lho, Lia. Mampir!”. Panggil beliau. Aku turun dari sepedaku. Dalam hati
ini ingin sekali rasanya bertanya di mana sih sebenarnya balitan empat itu?
tapi aku malu. Aku tidak jadi menanyakannya.
“Nggak, udah sore Mbah, dah ya.” Kataku sambil menaiki sepeda dan langsung
ngebut menyusuri jalan. Sesampainya di warung Ibuku, aku mengatakan tidak dapat
di mana kompleknya. Karena warung sedang ramai, Ibu jadi tidak terlalu
memperhatikan aku. Beliau Cuma bilang terus aja jalannya sambil menunjuk arah
jalan yang aku telusuri tadi. Rasa kesal dan sedih bercampur di dalam hati. Aku
pulang dengan tidak puas, kelaparan dan tidak enak hati. Aku mengembalikan
sepeda ke rumah sepupuku dengan lemas, berjalan ke rumah, lalu tiduran di
kasur.
“Lia, bangun! Udah makan belum?”. Suara Ibu membangunkan aku. Ternyata aku
tadi ketiduran.
“Udah jam berapa, Bu?” tanyaku.
“Jam delapan. Gimana tadi? Ketemu?”
“Nggak, nggak ada tulisan balitan empat.”
“Ah, masa? Orang tulisannya besar kok.”
“Nggak ada, Bu.”
“Kamu udah sampai mana jalannya.”
“Sudah lewat rumah Mbah Wir.”
“Teruuus aja lagi dari rumah mbah Wir. Jauh nggak?”
“Nggak tau deh.”
“Ih, kamu ini pasti nggak nanya kan?”. Aku diam saja. “Hmmmm, pantes.”
“Kasian, nggak dapet kue..” kata Bapakku yang tiba-tiba muncul di depan
pintu kamar. Aku kembali merebahkan badanku. Bapak dan Ibu hanya tertawa
mendengar kisahku. Aku dapat pelajaran hari ini, kalau “malu bertanya, nggak
dapat kue ulang tahun”. Menyedihkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar